Cerita: Sofa Sila Ke Lima

Kamis, Februari 12, 2015

(Random Social Justice Short Story)

Bosanku semakin memuncak ketika berjalan melalui lorong gang yang itu-itu saja dengan rumah yang begitu-begitu saja. Semua memang saling berpautan begitu kuatnya, dan tentu dengan kebisuan yang kuat pula. Badanku serasa lemas pagi ini ketika menyusuri jalan-jalan aspal berlubang di perkotaan dan juga kotornya trotoar. Namun memang beginilah rutinitasku.
Terkadang aku sering melamun di tengah kampus hanya karena memikirkan tingkat keberuntunganku dua tahun lalu hingga sampai berada di Universitas terkemuka di negeri ini, Universitas Gadjah Mada. Tempat tinggalku juga bisa dikatakan lumayan. Mungkin karena ada rumah pejabat yang tinggal di sekitar lingkunganku. Bukankah itu merupakan suatu kebanggaan bagi rakyat kecil seperti kami? Maklum, rumahku memang bersebelahan dengan rumah gedongan si Walikota Yogyakarta.
Tapi sayangnya kami tak layak disebut tetangga. Tak dapat dipungkiri lagi, sebelah timur dari rumah sang walikota adalah gang kecil kumuh yang sungguh tak layak untuk ditinggali. Ya, itulah tempat tinggalku. Beberapa dari mereka juga sudah sering merencanakan sesuatu agar tempat yang kami tinggali cepat digusur. Mungkin karena mengganggu pemandangan artistiknya. Untung saja tidak pernah terjadi.
Jam kuliah telah dimulai. Kala itu dosenku sedang terburu-buru dan  tidak bisa mengajar lebih lama seperti biasanya. Ada acara keluarga katanya. Lalu beliau meninggalkan sebuah pesan, “Besok pagi kita melakukan pembelajaran diluar kelas. Saya sudah menyusun jadwal dan meminta surat keterangan izin. Besok kita melakukan pengamatan sidang di Kantor Pengadilan Negeri Yogyakarta. Hanya ada satu syarat untuk mendapat nilai B, jangan membuat kegaduhan! Saya keluar dulu, ada acara keluarga. Permisi.”
Namanya Pak Beni, beliau memang sering begitu. Terkadang aku hanya bingung dengan sikap dan kelakuannya, mengapa beliau sering sekali meninggalkan kelas hanya dengan sogokan kata “acara keluarga.” Apakah untuk itu seorang dosen sarjana hukum bekerja? Dengan tidak mematuhi hukum Universitas? Entahlah. Karena sepertinya aku pun tak pantas mengucapkan kata-kata hina dina seperti tadi. Sadar sekali bahwa aku hanyalah sosok mahasiswa yang beruntung disini, mempelajari hukum dan menjadi lawyer nantinya.
Matahari terbenam di kaki musim kemarau, memerah dengan awan-awan timah. Bentuknya pun ditembus berkas-berkas cahaya langit yang perlahan turun ke dasar lautan, meskipun tak kelihatan ranah tanah tepinya. Aku sedang disergap malam, dingin dan kelam. Beginikah anak yatim-piatu ditakdirkan?  Aku memang harus menyokong kehidupan dan perkuliahanku sendiri. Untung saja aku tak banyak berkeluh kesah namun hanya sedikit berkomentar. “Tuhan, betapa kerasnya dunia ini.” Gumamku malam itu.  Tapi memang begitulah kuasanya, aku berhak menghitam dan memutihkan jalan pikiranku sendiri. Karena memang itulah jamuanya untuk mencari sesuap pagi dan sesuap petang. Pagi hari belajar kemudian malam mengais rezeki.
Aku bangun pagi-pagi sekali hari ini. Memantapkan segala pikiran yang menjalar keluar, kemudian menggantungkan tas ransel ke punggung dengan  sikap sigap yang seolah-olah sudah menjadi mahasiswa terpandai di bumi pertiwi. “Ah ini seperti pencitraan.” Namun daripada itu, pencitraan itu penting walau banyak sekali orang menyepelekannya. Jika kita sudah dicap menjadi pandai, lalu tak menjalankannya dengan pandai apakah tidak akan tersandung? Terlihat pandai dulu, urusan otak bisa dipelajari.
“Sejauh ini jaksa penuntut dan persidangan telah mempertimbangkan kasus pencurian koran sebagai kasus kriminal. Meskipun hanya koran, tetap saja hal tersebut merupakan tindakan kriminal yang melanggar hukum. Koran pada kereta api tentunya disediakan untuk pengunjung, bukan untuk dicuri, diambil dan dijual.” Jelas panjang sang jaksa penuntut.
“Apa benar hanya karena kasus koran, seorang kakek berusia 62 tahun itu mendapat hukuman penjara?” Aku langsung mengamati raut wajah hakim yang duduk di kursi kehormatan yang tinggi itu. Sepertinya ia berpihak pada sang jaksa. “Terdakwa dinyatakan bersalah. Saya menjatuhkan hukuman satu tahun penjara pada terdakwa. DOK!”  begitulah kata-kata sang hakim yang diakhiri dengan ketuk palu sakralnya.
Ternyata hukum di negerti kita keji adanya. Seorang kakek berusia 62 tahun mengambil koran gratis di kereta api untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dipenjarakan. Benarkah? Inilah maskumambang yang menyelinap ke dasar sanubari, menembus dunia fana, kemudian terluka, dilukai dan luka-luka. Beliau bukan penjahat, beliau tidak sedang digugat. Beliau hanya korban dari manusia berasas hukum yang tak berhati.
Mungkin memang begini adanya. Jaman sekarang, kaum kecil tidak diberi pilihan, hukumnya tak diberi hati layaknya sang koruptor. Memakan uang rakyat dan bekerja di kursi empuk hanya untuk memamerkan jabatan pada teman-teman SMAnya. Setelah daripada itu, mereka hanya mencari cara untuk menebalkan isi kantongnya sendiri. Keji! Namun bagaimana lagi? Inilah hukum berpasangan. Ada miskin, ada kaya. Ada uang orang disayang, tak ada uang orang ditendang.
Cukup bagiku doa untuknya. Dan yang tak lebih terduga lagi, kakek itu adalah kakek Marlan. Tetanggaku. Aku tau bagaimana beliau hidup dan menjalani kehidupannya. Beliau tak layak menjadi seorang napi nantinya. Mengapa koruptor yang mencuri bermiliyaran uang rakyat diberi penjara yang luar biasa fasilitasnya? Belum lagi proses hukum yang dilalui juga cukup panjang. Jadi dengan begitu mereka punya banyak pilihan. Mengapa hukum tak begitu adil bagi rakyat kecil?
Seusai persidangan, ada sebagian temanku hanya berbelas kasih pada si kakek. Ada juga yang puas dengan hasilnya. “Kek, sudah tak apa. Mungkin kalau kakek tinggal di balik jeruji besi justru dapat menambah keuntungan. Seperti mendapat jatah makan tiga kali sehari, yang selama ini susah kakek dapatkan. Benarkan?” Rayuku pada si kakek. Aku seakan tak kuasa menahan bulir air mata yang menempel di kerut pipinya. “Iya, sudah tidak apa-apa. Saya juga sudah tau semua akan berakhir seperti ini di persidangan. Terimakasih nak.” Balasnya dengan ucapannya yang tak begitu jelas dan terbatah-batah. “Mari Doni antar pulang, kita pulang bersama.”
Dalam perjalanan pulang kami menengok ke sebelah kanan jalan dekat taman kota. Ada sebuah spanduk besar disana. Ada pula kerumunan pejabat memakai baju kompak warna hijau. “Ayo pilih kami dan jadikan Yogyakarta lebih sejahtera” ucap salah satu orang di  sana. Aku beranjak memandang kakek dan menasehatinya. “Begitulah manusia abad sekarang. Siapa yang kuat, dia yang berkuasa. Siapa yang dekat, dapat perlakuan istimewa. Itulah falsafah hidupnya. Kakek tak usah dendam, cukup balas dengan do’a saja.” Ucapku sambil tersenyum. Beliau hanya mengangguk, kemudian kami melanjutkan perjalanan.
Iya, do’a. Cukup doa juga bagiku sebagai obat mujarab supaya selamat. Mendoakan kebaikan untuk membangun kerukunan. Aku menjamin, seumur hidupnya, Hakim juga pasti pernah punya salah. Karena memang tak ada gading yang tak retak. Sebagaimana yang sudah tertulis pada Hadis; Al-insanu mahallul khata’ wannis yan. Manusia adalah tempat sesalah dan lupa.
Jam makan telah tiba, aku segera mengambil beberapa lembar uang lima ribuan untuk kubelikan dua buah nasi bungkus. Untukku, dan satu lagi kuberikan ke kakek. Dalam lamunan, aku memikirkan sesuatu yang masih memadatkan di otakku kali ini. Kami memang orang miskin, tapi kami yakin pada kejujuran dan hati nurani. Bukankah seharusnya hukum juga berhati seperti hukuman yang diberikan pada para koruptor? Di beri fasilitas pada jerujinya, makanan yang lebih sedap, dan siapapun boleh berkunjung lamanya.
Keadilan di ranah tanah kita sudah buta ditutup kain gelap. Terlalu tunduk dengan hukum yang dicipta manusia. Biarlah kami orang miskin terpanggang di neraka jika melenceng dari kebenaran. Untuk apa kami beragama jika melakukan dusta. Biarlah luka kakek ini akan kujadikan renungan, sebagai manusia ciptaan Tuhan, yang tak lepas dari sesalahan. Cukup menyesal aku belajar hukum selama ini setelah menyaksikan sendiri egoisnya kaum atas, hukum, dan jabatannya. Tapi di sisi lain aku ingin lebih giat belajar agar menjadi hakim yang bermoral dan bermartabat.
Cahaya merah mulai terbentang di ufuk barat, dan bayangannya telah mengindahkan wajah daratan tak berpasir. Suasananya tenang, mengecap hawa malam. Aku berjalan seperti biasanya, menyusuri jalan raya yang menopang kehidupanku. Di jalanan inilah aku mampu bertahan hidup, mencari sesuap pagi dan sesuap petang. Kalau aku diberi satu permohonan yang akan dikabulkan, akupun memillih menjadi kaya raya. Lalu pikiranku terbesit dengan hakim dan para koruptor. Kaya raya memang mudah diraih, tapi halal yang susah didapat. Kutarik lagi ucapakanku, mungkin yang aku butuhkan sekarang hanyalah sesosok keluarga kecil yang melihatku.
Pagi itu aku masuk pukul sebelas siang. Saat sedang bersenda-gurau dengan sekelompok temanku, tetiba telingaku terganggu dengan suara mesin motor di jalan raya. Aku sempatkan menoleh dan melihat apa yang terjadi. Ternyata hanya anak ‘geng motor’ yang labil di tengah jalan. Terkadang aku berfikir, hidup mereka berkecukupan dan berfasilitas, namun mengapa lebih memilih menjadi siswa yang tidak jelas seperti itu? “Tunggu!” Tangkasku sambil berjalan menengoknya. “Bukankah ini masih jam sekolah? Bagaimana bisa mereka sudah pulang?” tanyaku pada teman disebelahku. “Anak seperti itu sudah pasti hidupnya penuh dengan kegiatan membolos sekolah. Tak usah heran lagi.” Kata Ruben dengan nada medok khasnya.
“Pemerintah sudah membentuk kurikulum yang baru untuk sistem pendidikan yang ‘diharapkan’ bisa lebih maju bukan? Dan di setiap pelajaran, guru harus mengabsen lalu memantau muridnya. Mengapa ini masih ada di kurikulum sekarang?” aku sedikit lupa dengan masa sekolahku, sehingga perkataan polosku terlontar begitu saja. “Namanya juga anak jaman sekarang, Don. Apapun bisa dilakukan.” Sesaat aku diam, lalu tak merespon dan langsung berlari masuk karena kuliah akan segera dimulai.
Saat mata kuliah diajarkan, otakku masih memikirkan hal yang sebelumnya aku amati. Mungkin kurikulum 2013 yang telah menghabiskan banyak dana ini hanya bualan sistem pemerintah saja demi meraih banyak keuntungan. Padahal tak sedikit guru yang mendapatkan seminar gratis dan menginap di hotel megah untuk kelancaran proses belajar di kelas. Namun tetap saja tak ada perubahan. Guru saja tidak, apalagi muridnya. “Inilah sebab-sebab kegagalan dalam pendidikan. Siswa hanya dituntut untuk memperoleh nilai, namun tak menghargai dan menjunjung tinggi prosesnya.” Cetusku pelan. Dari situpun aku berfikir, negeri ini sungguh rumit dalam membentuk karakter bangsa. Jika sedari dini ditanamkan banyak ilmu pengetahuan dan agama, mereka tak mungkin melakukan hal tercela layaknya tadi. Jika sedari dini mereka dapat meresapi apa arti hidup dalam ilmunya, maka mereka tak akan menjadi pejabat dan petinggi negeri yang rakus.
Aku pulang cukup letih sore ini, buku dalam ranselku juga cukup banyak. Sehingga malah menambah beban pada tubuhku. Aku berhenti di sebuah warung kopi dan memesan satu gelas susu hangat. Maklum, kata orang jaman dahulu kalau mau kuat minum susu saja, itulah pemikiran manusia tahun-tahun lalu.
 “Kabar petang. Berita utama datang dari Bekasi yang yang sekarang terjadi kesenjangan ekonomi. Harga beras naik, harga minyak kelapa naik, harga minyak tanah naik, dan harga gula pasir naik turun. Kenaikan harga ini menyebabkan warga……” Berita TV lokal yang diucapankan si pembawa acara cepat sekali merambat ke gendang telingaku. Tentu saja aku mendengarnya lengkap dengan menyeduh susu hangat yang kupesan. Lumayan, untuk mengurangi tagihan listrik di rumah.
 “Keadilalan telah ditegakkan di Negara yang berasaskan pancasila pada butir kelima, keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Hukum kita sudah benar-benar adil, berbahagialah kita hidup di abad sekarang….” Berita terakhir itu malah membuatku muak dan ingin muntah. Meskipun aku  mahasiswa hukum, tapi aku tau mana hukum yang berhukum dan mana hukum tak menerapkan hukum.
Sontak aku berdiri dan membayar tagihannya, kemudian berjalan menuju rumah kecilku di ujung sana, menyambut kesunyian, kedamaian, dan tentu saja kesepianku. “Masih 100m menuju gang, tetapi kenapa sudah terlihat ramai sekali?” aku pun mendekat. “Penat masih menumpuk kenapa rasanya makin ditepuk.” Resahku dalam hati. Lalu aku berjalan semakin dekat, ternyata semakin terlihat jelas. Tetanggaku sedang berontak berdemonstrasi. “Tetapi, apa yang mereka demokan?”
Aku melangkah lebih dekat lagi dengan langkah yang pelan dan amat perlahan. Bukan, bukan menjadikan ini sebuah drama, melainkan menahan beban ranselku yang tak karuan bebannya. “HABIS SUDAH.” Sesalku dalam hati. Sekarang giliranku yang menjadi korban para pejabat negara dan petinggi negeri untuk memperindah istananya, mempertebal sakunya dan menjadikan kami sampah masyarakat. Ditendang, dihina, dan diusir.
Gang itu sudah dihancurkan dan digusur. Mereka tidak pernah tau apa arti kehidupan yang sebenarnya. Apa itu arti momentum pada setiap lokasinya. Dan bagaimana menjalani kerasnya hidup saat roda masih berada di bawah. Dan kemudian, pernyataan inilah yang tak tentu bagaimana lakon sedih dari lakon gembira. Jika aku dapat meminta dan didengar, maka aku akan memohon 
“Jika boros selalu ditentang, maka boroslah pada kami. Dan menyisihkan sebagian lembarmu pada kami. Kau sudah cukup bahagia daripada kami, jangan ambil kebahagiaan kami. Dan jangan sekali-sekali membahagiakan kami hanya dengan janji sampah." 
***
Biarlah ia bersinar di hati kita, dengan betapapun gelap di bumi pertiwi. Biarlah ia memancar dari hati kita, dan menyadarkan suram dari segala ufuk angkasa. Meskipun hanya ada padaku gubuk yang mudah roboh dan diterangi lilin kecil pada malam hari, namun mataku selalu membiasakan cahaya yang dilihatnya dunia. Mana yang seharusnya aku lakukan kelak jika roda kehidupanku di atas, dan segala hal yang patut aku musnahkan.

You Might Also Like

0 komentar