Bait Ndigun: Dua Stoples Kenangan

Kamis, Juni 11, 2015

Senin yang dingin membuatku malas mencuci muka. Sebuah ingatan terpaksa tinggal lebih lama. Ingatan tentang Senin yang luka oleh aku yang muda dan terburu-buru.

Telah lama kau menjadi kupu-kupu di rumahku sebelum berterbangan di bukit luas bernama masa lalu. Di sana, kau sibuk mengitari bayang-bayang yang lebih gelap dari padam lampu. Menari di atas danau kenangan yang lebih keruh dari keluh janda-janda kota.

Saat sedang lelah di pucuk rendah pinus aku berhasil memeluk dan membawamu pulang. Pelukan yang asing dan asin sebab kau tak berhenti menangis sepanjang jalan ke rumahku. Rumah bercat putih pudar membosankan berbau apak.

Jendela-jendela berkarat dan segala pintu kututup rapat sebab aku enggan menaruhmu dalam stoples kaca. Satu-satunya stoples bekas isi nastar pemberian seorang yang dulu mengaku kekasihku. Seorang yang dibawa pergi kupu-kupu dari taman bunga yang tak pernah kukunjungi.

Sejak hari itu kau selalu berterbangan di dalam rumahku. Menyinggahi apa saja. Pigura-pigura berdebu bergambar senyum yang telah dimakamkan. Ranjang berlubang mahasepi. Juga gelas piring sendok yang selalu kucuci sendiri setelah menu-menu hambar tertelan. Aku berpikir kau telah mengenalku dengan sangat baik dari setiap sisi rumahku yang kau singgahi.

Lalu Senin malam yang lapar dan pasar kerlap-kerlip di pusat kota menggodaku. Setalah mengunci pintu aku berlari menuju ramai pasar malam. Tak kutemukan apa-apa di sana selain kesunyian yang lain dan stoples baru berwarna biru tembus pandang untukmu.

Aku pulang memandang cat putih semakin pudar dan rumah diserang hawa dingin mahadahsyat. Aku lupa menutup jendela dan dua stoples tak cukup menampung air mata.

You Might Also Like

0 komentar