Cerita: Sandiwara Mendung

Minggu, Desember 01, 2013



Pinky Bilika Intan Sari

Aku pernah melihat awan hitam yang berarak pada langit itu. Aku juga pernah menyaksikan binar mentari pada langit yang sama. Namun aku tetap merasakan suhu mendung pada tiap-tiap sudut aku berdiri. Hingga tetesan langit membuktikan mendung dan hujan dalam sandiwaranya.
***

“Tetesan langit itu datang lagi. Mungkin tetesan itu datang begitu lama. Atau bisa saja hanya sekejap” Kala itu Kinan bergumam. Menapakkan kaki mungilnya sambil merapatkan jaket yang dikenakannya. Pandangannya kosong dan nafasnya terasa berat saat bicara. Benar, ia hanya ingin langit cerah sepanjang hari. Bertolak belakang dengan hari lalu yang mencibir berharap hujan turun, bersuhu dingin, sambil meneguk cappucino hangat kesukaanya. 

Kinan namanya. Seorang siswi yang sedang duduk di bangku kelas XI SMA bertempat di salah satu sekolah favorit di Yogyakarta. Pemilik mata indah, rambut hitam dan pecinta kafein.Gadis ini masih saja sibuk dengan lamunannya di jalanan menuju gerbang sekolah. Bel pulang sekolah memang sudah berbunyi sejak lima belas menit yang lalu, namun sama sekali tak menggerakkan saraf otaknya untuk segera pulang. Bahkan dalam keadaan gerimis sekalipun. “Kamu ngapain masih disini? Mau pulang atau tinggal?” desis Johan sambil menggaruk kepalanya yang bahkan tak terasa gatal sedikitpun. “Mau disini aja, belum ada niat buat pulang” Ketus Kinan dengan nada naik. Bicaranya tanpa melihat wajah Johan. Melirik saja tidak. Gadis ini memang apatis, anarkis, namun terkadang romantis dan berpikiran optimis. “Mau disini sampai kapan? Udah ada yang jemput? Aku antar pulang ya” Untung saja niat baik Johan diterima, biasanya tak pernah. Ini pertama kalinya. “Ngg.. untuk kali ini iya. Ini terpaksa” 

Setelah selesai mengantar Kinan pulang, Johan mampir ke toko buku yang ada di dekat kompleks Kinan. Bukan, jangan salah presepsi. Johan bukan seorang kutu buku. Bahkan buku wajib di sekolahnya jarang ia buka. “Sebenarnya apa menariknya dari lembaran-lembaran kertas penuh huruf ini? Apa yang ada dipikiran gadis itu selain huruf-huruf ini? Jika aku jadi dia, aku lebih memilih pergi ke salon.” Kemudian Johan memutar balikkan badannya, berjalan kesana lalu kembali kemari, begitu terus seterusnya. Johan yang berada di toko buku tersebut hanya ingin mendalami Kinan seorang pecandu buku. Selang beberapa menit kemudian ia kembali pulang ke rumahnya.  Pikirannya  hambar dan mengambang. “Kenapa aku tadi bisa nyasar ke toko buku? Saat kita sudah menemukan orang yang nyaman dan tepat, saat itu juga pikiran kita tak lagi wajar, bahkan hal yang tak mungkin bisa jadi sangat mungkin” Tanya Johan pada dirinya sendiri. Tepat saat itu pula Kinan mengirim pesan singkat padanya. Johan yang sendirinya sedang melamun serentak kaget, beruntung tidak pingsan di tempat. “Terimaksih sudah mengantarku pulang.” Pesan sesederhana itu ternyata mampu menghipnotis Johan hingga lepas dari dunianya. Le-pas. Karena sebelumnya Kinan adalah gadis yang acuh pada lelaki, apalagi Johan yang baginya hanya si karbondioksida pengganggu.

           “Bukan hujan yang merangkai bahagia, pelangi yang melakukannya. Sedangkan kita adalah hujan yang memungut tetesan kesan. Kita adalah mendung yang bersembunyi dibalik tudung pelangi. Kita adalah sajak yang sepi.” Kinan yang yang tengah bermain game diponselnya otomatis tersentak ketika membaca pesan balik Johan. Refleks jemarinya tak berhenti menari di keypad ponsel miliknya. Otaknya berpikir keras bagai radio rusak yang mencoba memutar lagu rock, padahal harusnya jazz. “Sejak kapan Johan ber-kamuflase gini? Baru tau ternyata selain jago main gitar dia juga bisa bersastra. Dan ini.. lebih dari itu. Diksinya bagus dan maknanya dalam. Besok aku harus menemuinya. Iya, besok. Secepatnya”

            Kringggg! Jam berdetak tepat menunjukkan arah setengah tujuh pagi. Hari selasa, hari mengerikan bagi Kinan.”Dari tadi raut muka kamu bingung, ada masalah apa? Jangan tegang dong.” Kata-kata itu langsung terlontarkan dari mulut Sella, teman sebangku Kinan. Gadis yang satu ini tergolong gila. Gila dalam konteks over terhadap segala hal meski hal sepele sekalipun. “Kamu harus tau, ternyata Johan bisa bikin puisi yang bukan layaknya puisi biasa. Padahal setauku dia cuma jago nyontek, bikin gaduh, main gitar dan terakhir futsal. Kamu tau kan, tahun ajaran kemarin aku sekelas sama dia. Jadi aku tau semua tentangnya.” Jelas Kinan benar-benar tak sadar ucapannnya barusan telah menyakiti lawan bicaranya. “Tau darimana berita aneh itu? kamu suka Johan, Kin? Sampai segitunya kamu peduli sama hidupnya. Urusin dulu dong hidupmu. Jangan ngata-ngatain juga.” Mata Kinan terbelalak dengan ucapan Sella yang pedas bagai maicih yang ramai dijual di pinggir jalan. “Jangan naik pitam, Sel. Kamu kenapa jawabnya judes gitu? Aku belum selesai cerita. Kemaren aku diantar pulang Johan, terus dia ngirim pesan singkat gitu. Ini coba kamu lihat.” Kemudian Kinan menunjukkan pesan singkat Johan  ke teman sebangkunya itu. Sella yangtengah memendam rasa dengan pemuda bernama Johan rasanya tak punya harapan lagi. Ia menyembunyikan perasaan itu dari Kinan. Bukan karena apapun, tapi memang gadis gila ini memang sedikit introvert.

          “Johan ada?” Jam istirahat Kinan habis digunakannya mencari Johan. Ha ini sepele, tapi penting baginya. Entah apa yang begitu membuatnya penting. Ia ke kantin sebentar untuk membeli segelas air mineral kemasan, duduk di bangku taman dan menenangkan pikiran. “Hai Kinan, apa kabar? Masih suka kopi?” Pemuda berpostur tinggi dan pemilik mata indah itu duduk tepat disebelah Kinan.”Oh, Radit? Lama ya gak ketemu. Aku baik, kamunya?” Jawabnya kaget dan tergelitik seperti ada sesuatu di diafragmanya menarik dan menghembuskan nafasnya dengan susah payah. Seperti ada sesuatu yang mencegahnya untuk bernapas normal. Hai, masa lalu. Dengusnya. “Aku juga baik. Kalau lihat kamu itu rasanya ingat hujan, ingat pelagi. Ingat kita

            Kinan benar-benar bingung dan diam seribu bahasa. “Rasanya seperti melihat kabut memenuhi sekolah dan ingin hilang saat itu juga. Rasanya ingin mencaci maki dan tak ingin melihatmu lagi. Aku sudah hampir lupa, dan rasa itu seperti ada di ambang pintu yang tercatat takdir antara masuk atau tidak.” Gumamnya dalam hati. Radit terus-terusan menatap Kinan, namun ada yang membuatnya sedikit kalut saat itu. Suara Johan telah menggelitik ditelinganya. “Kinan! Kamu nyariin aku ya? Maaf aku tadi keluar sebentar. Tapi tenang,  I always there for you when you needed me the most. Ada ap-a...” Kata-kata itu berhenti seketika. Johan begitu sakit saat melihat Kinan duduk bedua dengan Radit di bangku taman. Ia hanya mengulas senyuman melambaikan sebelah tangannya kemudian pergi. “Johan, kamu mau kemana? Aku nyari kamu dari tadi, jangan pergi. Aku mau nanya sesuatu.” Kinan menghampiri Johan yang nampak tak bergairah saat itu. “Ini, pesan singkatmu kemarin maksudnya apa? Kamu juga suka bikin puisi? Sejak kapan? Setauku kamu cuma jago futsal sama main gitar deh.” Tanya Kinan penasaran. “Nggak juga. Bahkan itu pertama kalinya aku bikin diksi kaya gitu. Pertama kalinya dan buat kamu. Coba kamu lebih sensitif beberapa bulan belakangan ini. Aku selalu ngajak kamu pulang tapi kamu tolak, Aku selalu ngasih kamu coklat walaupun kamu abaikan, bahkan aku main gitar dan nyanyi di kelas liriknya juga cuma buat kamu. Sekarang kita beda kelas, aku sedih kita gak bisa sedekat dulu lagi. Tapi aku sadar, aku gak lebih dari sekedar teman pengganggu.” Keyakinanku semakin mantap tentang fakta bahwa Johan menaruh tempat hatinya untukku. Aku bisa apa, dilema. “Ngg.. aku belum paham. Kata-katamu terlalu dalam bahkan aku bingung maksudnya. Eh kamu bicaramu kenapa jahat gitu ke aku?” Tanya Kinan serius. “Ah, sudah lupakan.” Johan kembali mengulas senyumnya, kali ini sekaligus menatap Radit yang dari tadi mendengar pembicaraan mereka.

           “Kin, udah ketemu Johan belum? Aku sekalian nitip undangan ulang tahunku ke dia ya. Kamu yang deket sama dia. Jangan lupa nanti jam tujuh malam di Cafe Kanaya.” Pinta Sella. “Iya sel, mungkin ini ketemu lagi. Biasanya dia nawarin pulang soalnya.” Di gerbang sekolah Kinan sudah menunggu sejak dua puluh lima menit yang lalu. Tidak ada Johan, tidak ada Radit. Kelam, seperti dihantamkan jatuh seketika ke jurang. Langit mendung sudah mulai merintikkan air. Ia masih saja disana, duduk di gerbang sekolah tanpa ada siapapun yang menemani. Satpam sekolah segera pulang dan menutup gerbang sekolah. Mau bagaimana lagi, Kinan terpaksa jalan kehujanan ke halte bus. Rumahnya agak jauh, orang tuanya sedang di luar kota dan ia anak tunggal. Ia duduk di halte bus yang berada di sebelah selatan sekolahnya. Hanya bisa mengangkat bahu, menunjukkkan sikap dingin. Tapi, ada sesuatu yang membuatnya berpikir selain ingin pulang Sesuatu yang seolah menekan dadanya, sepertinya itu adalah penyesalan. “Baiklah, aku akan minta maaf, jika memang itu bagian dari etika.” Ucap Kinan pelan.

           “Minta maaf ke siapa?” Johan ternyata juga sibuk mencari keberadaa Kinan. “Akhirnya aku menemukanmu disini. Kamu yang tengah memeluk lututmu dan matamu yang merah pasti sekarang kedinginan.” Dengus Johan dalam hati. Johan lalu mengambil jaket dari dalam ranselnya dan mengenakannya untuk Kinan, seraya duduk disampingnya. Hujan masih turun saat itu, namun ada bayangan semburat biru di langit ketika ia melihatnya. “Kamu kesini naik apa? Tapi makasih ya. Maaf udah merepotkan. Maaf juga udah buat kamu naik pitam tadi. Sekarang aku paham.” Jelas Kinan dengan nada tersendat dan terhalang oleh kondisi tubuhnya yang menggigil.“Gak usah terlalu dipikirkan. Sekarang aku temani kamu pulang. Itu bus jurusan rumahmu lewat kan? Ayo.”

            Sesampainya di rumah, Johan melambaikan tangan dengan seulas senyum manis pada Kinan, dengan kedua mata indahnya. “Tunggu, Sella mengundangmu pada pesta ulang tahunnya. Ini undangannya. Untukmu.” Sela Kinan. “Kamu juga datang? Aku boleh mengantarmu?”Ucapanya yang begitu saja terlontar dari mulutnya. “Dengan senang hati, jam tujuh malam, kesini ya. Thanks a lot.”
 
            Dipilihnya pakaian merah menyala yang memang disesuaikan dengan kode dress pada pesta ulang tahun Sella, teman sebangkunya itu. Sesaat ia sedang berkaca, ponselnya berdering kencang. Nomor tidak dikenal sedang menelpon, tidak ada di kontak ponselnya.. “Halo, siapa disana?”Gadis yang berada di depan kaca tersebut memasang raut muka kebingungan sekaligus tergesa-gesa ketika melihat jam sudah akan menunjukkan pukul tujuh malam tepat. “Aku….”  Kinan sengaja memutus sambungan telepon. Ia benar-benar bingung saat itu, mana yang dipersiapkan untuk pesta ulang tahun temannya atau hanya ingin terlihat terkesan dihadapan Johan. Benar, sejak Johan ada untuk Kinan, hidupnya tak lagi terlihat suram. Begitu berusahanya ia melupakan masalalunya hingga bertemu sosok Johan. Sosok yang dianggap obat peredam hatinya. Semenit kemudian, bel rumah Kinan berbunyi. Kinan segera keluar menemui Johan yang tengah berkaca di spion mobilnya. Seperti biasa, Johan menyapa dengan kedua mata indahnya pada Kinan yang tengah berpamitan dengan orang tuanya. “Sudah siap semua? Tidak ada yang tertinggal?” Tanya Johan memulai percakapan basa-basinya malam itu. “Siap. Berangkat!”

           “Selamat ulang tahun teman sebangku! Semoga tambah segalanya ya.” Ucap Kinan pada Sella seraya menerima bingkisan kado dari Kinan. “Terimakasih sudah merelakan waktumu buat datang, Kin. Kamu minum dulu, minumannya disebelah situ.” Sementara Kinan mengambil segelas minuman di meja yang ada di sudut ruangan, Johan memberi ucapan selamat kemudian ijin ke toilet sebentar untuk membenarkan dasi yang dianggapnya kurang rapi. “Toilet sebelah utara kan, Sel? Aku kesana ya.” Pintanya. “Silahkan, anggap saja rumahmu sendiri”  

            Memang tuhan selalu punya takdir  pahit dan manisnya. Memang dunia adalah panggung sandiwara dan mereka pasti punya cerita. Entah menjadi protagonis ataupun sang protagonis. Kala itu Kinan duduk di sofa dan menikmati suasana pesta Sella sembari meneguk segelas anggur merah. Ia memandangi sosok yang pernah dicintainya, begitu dibanggakannya. Sesaat seperti menonton telenovela atau membaca dongeng princess dan novel teenlit remaja. Judulnya adalah namamu, Radit. “Aku yang berada pada kerumunan wajah, bertemuku pada sosok tanya. Kutemukan sepasang mata; jurang yang kepadanya aku rela jatuh.” Ucap Kinan pelan, berbisik. Tak teruntukkan atau tertuju pada lawan bicara, ia hanya ada di bagian prolog ketika melihat Radit tersenyum di ujung sana. “Hai Kin, aku gak nyangka kita ketemu lagi disini. Aku rindu saat kita bertatap face to face dengan jarak sedekat ini. Rasanya semua sepi walaupun dalam suasana pesta begini.” Kinan benar-benar terdiam seribu bahasa. Ia bahkan bingung bagaimana cara menyampaikan huruf-huruf yang telah tersusun di kepalanya. Setiap ia memandang Radit, ia kembali jatuh sepeti dua tahun lalu pertama bertemu. Dan seterusnya begitu. “Kamu boleh bediri sesukamu. Kamu mau datang dihidupku, pintunya tebuka. Kamu akan pergi, pintunya juga tetap terbuka. Aku cuma minta satu. Jangan berdiri di ambang pintu. Kau menghalangi semuanya” Kemudian, tubuhnya sudah tidak kaku lagi. Mereka terus menguntai pembicaraan demi pembicaraan. Sampai dimana Johan melihat mereka berdua, saling tersenyum. Saling bertatap muka dan tatapan itu dianggapnya bermakna dalam. “Hey, maaf. Aku ganggu kalian ya? Cuma mau ngembaliin ponsel Kinan. Tadi aku meminjamnya untuk menelpon, pulsaku habis. Ini ya, makasih. Untuk pinjamnnya, untuk semuanya.”

            “Tunggu. Aku minta maaf, bukan maksudku buat...” Pembicaraan Kinan terhenti sesaat Johan mengisyaratkan bahwa semuanya tidak ada apa-apa dan baik-baik saja. Ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri, memahami setiap keluhan hatinya, setiap ucapan otaknya. Saat kenyataan begitu pahit ketika memilih untuk pergi namun masalalu justru datang disaat ia sudah membuka pintu hati untuk orang lain. Semua kembali terbias pada orang pertama. “Aku bahagia. Entah kenapa, melihatmu bahagia saja sudah lebih dari cukup bagiku. Tenang, aku bukan pemaksa. Jangan dipaksa, nanti sakit.” Topik pembicaraan semakin larut ketika Radit menemui mereka berdua, membuka mulut dan mengutarakan sesuatu. “Kamu salah, Han. Kinan memang masalaluku, namun Kinan tak mungkin menjadi masa depanku. Karena ia, telah memilihmu. Ia mencintaimu, merindukanmu bahkan pada saat sesulit apapun. Ia melakukannya dalam diam.” Ucapan Radit mengakhiri pertemuan mereka bertiga, menjadi hanya berdua saja. “Bagaimana bisa Radit bicara tentang itu? Aku melihat jelas dari sorot bola matamu saat menatap radit. Ada sesuatu disana.” Johan benar-benar merasa tidak tahu apa-apa, bimbang antara senang atau sedih. Sampai akhirnya Kinan membuka mulut. “Aku memang menyanyanginya, rasa itu selalu ada dan bermunculan saat seperti pertama bertemu. Iya, jatuh dan jatuh. Sebagai kakak. Dan kamu, berbeda. Kamu yang telah menyusun kembali luka itu, menyembukannya. Dan kemudian aku jatuh, jatuh pada sosokmu dan kedua mata indahmu.” Dijatuhkan kedua tangan Radit ke tubuh Kinan, memelukanya dengan erat. Memeluk gadis yang sangat dicintainya sejak tahun lalu. KINAN.

***

             Malam itu terasa cerah, bahkan seolah ada selendang biru menari pada langit mendung. Mendung tak berarti hujan. Dan hujan tak berarti harus bertahan dalam teduh batas aman. Terkadang basah juga membawa berkah. Karena mendung ini adalah satuan-satuan tentang ilmu pasti dalam kondisi pelita yang setengah ragu untuk bermain hari. Dan sekarang, semua menapakkan yang pasti. Hujan dan pelangi menanti.

You Might Also Like

0 komentar