Pinky Bilika Intan Sari
Aku yang buta akan senja selalu
peka terhadap embun. Merasakan hujan namun tak peduli dengan mendung. Dan saat
menyaksikan awan hitam bergejolak, khayalku terpancar memaku di langit. Mata
yang seolah memanah pada alamku. Rembulan datang, hujan hilang.
***
Malam ini tak seperti malam sebelumnya. Bukan angin
yang membuatnya berbeda, juga bukan gelap yang membuatnya serupa. Entah saat
aku membuka jendela kamar, sosok rembulan cerah menebar dan aku hanya menjadi penikmat senyumnya.
Malam purnama. Belum terlalu larut bagiku, bahkan bintang masih berjuta
dilangit dan dingin belum begitu kejam. Meja belajarku penuh sesak dengan
majalah yang semalaman kubaca. Sementara, dindingku masih dihiasi oleh catatan
kecil tugas sekolahku. Rasa
lelah mengantarku berbaring di tempat tidur yang terasa empuk saat ku tiduri.
Bebahagialah aku sekejap dari kesibukan duniawi, lupa hingga sengaja terlelap.
Kupejamkan mataku perlahan sesambi menarik nafas dalam-dalam. Kubiarkan angin malam merebut sedikit kebahagianku. Dinginnya belum terlalu kejam namun dingin akan bertambah dingin ketika malam akan semakin larut. Bahkan sensasinya sampai menembus tulang rusukku. Mataku boleh saja terpejam, tapi angan dan pikiranku masih berjelajah menelusuri lorong-lorong peristiwa yang terjadi belakangan ini. Semakin kubiarkan jejak peristiwa itu menghantuiku, maka bodohlah aku telah menyia-nyiakan malam istirahatku. Aku menarik selimut dan merapatkannya ke tubuhku. “Biarkan aku beristirahat malam ini. Jika itu tidak bisa, beri aku amnesia untuk sebentar saja, Tuhan” Gumamku resah dalam hati.
Matahari mulai menampakkan sinarnya. Mencuri masuk melalui celah-celah jendela kamar yang tak sengaja terbuka karena angin semalam. Aku sering menyebutnya angin purnama. Rasanya masih ingin memanjakan diri di tempat tidurku yang paling nyaman untuk bermimpi. Seketika pikiranku pecah dan hambar saat ibu meneriakiku untuk segera bangun dan bersiap diri. “Maudy! Sudah jam berapa ini? kamu masih saja malas-malasan di kasur. Cepat bangun, kamar mandinya kosong.” Terperanjatku dari kasur dan segera mengambil handuk yang sudah dipersiapkan.
Rasa nyaman tak akan datang ketika kita hanya bisa menumpukan sesuatu pada seseorang. Aku contohnya. Harus menunggu jemputan teman sebangku untuk ke sekolah. Sebenarnya masih bingung sampai detik ini juga. Mengapa semua menganggapku seperti bayi berumur dua tahun yang kemana-mana harus di awasi dan membebani hidup orang. Bahkan faktanya aku baru saja lulus SMP dan sekarang sudah menjadi murid SMA. Sulit untuk dipahami, kurang dipercaya, menyebalkan.
Sebelum berangkat aku menyempatan diri untuk meneguk segelas kopi hangat. Setiap pagi akan terus seperti itu, meneguk kopi, berpamitan lalu berangkat. Sesampainya di sekolah, otakku masih menjalar kemana-mana. Menelusuri hal-hal yang terjadi belakangan ini. Sedikit takut namun selebihnya aku tenang saja. “Dy, kamu mikirin apa sebenernya? Kalau ada masalah cerita aja. Sedih liat kamu gini. Kaya siput kehilangan otak.” Tegur teman sebangkuku, Gina. Mereka bukan hanya teman sebangku, tapi sudah seperti lem ajaib yang gak akan habis walaupun dipake beribu kali. Dekat dan begitu erat.
“ATM milikku hilang, Gin. Aku punya bisnis online dan sekarang udah diblacklist sebagai daftar penipu gegara aku belum setor ke supplier. Belum beresin barang ke reseller dan pelanggan juga. Gimana caranya biar balik lagi, kamu tau?” Jelasku panjang lebar ke Gina yang sebenarnya aku tau dia tidak sedang memperhatikan pembicaraanku. “Apa tadi? ATM hilang? Coba urus surat kehilangan di kantor polisi dulu, sambil bawa buku rekening tabungannya.” Jawab Gina seadanya dengan nada datar. “Iya sih, tapi reputasi? Gak bisa dibalikin lagi. Riwayatlah bisnis online yang sudah susah payah aku bangun setahun terakhir ini, Gin. Dianggap penipu dan lalai.” Bicaraku dengan nafas terengah-engah sambil merapatkan jaket yang kukenankan demi menutupi dinginnya udara pagi kala itu.
“Selamat belajar teman-teman untuk UAS besok. Semangat ya, sebagai manusia kita pasti saling membutuhkan dan tidak bisa hidup sendiri. Hahaha.” Ucapku semangat seusai pulang sekolah siang itu. “Modusmu basi bange dy, bilang aja mau nyontek waktu mata pelajaran matematika besok.” Cetus Yogi, ketua kelasku. “Itu sudah kamu perjelas, terimakasih. Aku pulang dulu teman-teman, mau ngurus ATM hilang di kepolisian. Maaf saya curhat.”
Aku memantapkan setiap langkahku menuju kantor kepolisian demi menyelamatkan peti harta karunku. Sedikit bingung dengan kantor-kantor yang berjajar panjang rapi disana. Pikirku, aku sudah banyak bertanya siang ini jadi aku putuskan dengan yakin masuk ke salah satu ruangan dengan papan bertuliskan “Kantor Urusan.” Aku masih di ambang pintu. Namun saat sadar, semua terasa aneh. Ada beberapa pasang mata orang dewasa menatapku. Tubuhku yang kecil dan masih memakai seragam dengan bet kebanggaan sekolah membuat mereka tercengang saat itu. “Apa benar disini tempat membuat surat kehilangan ATM?” tanyaku sedikit ragu sesambi menggaruk kepalaku yang tak terasa gatal sedikitpun. “Benar. Sudah membawa buku rekening tabungannya? Sini saya ketik dulu.” Syukurlah, ternyata polisi tidak sekejam yang kulihat di layar kaca. Membawa pistol dengan raut muka yang menyeramkan. “Sudah selesai. Jika belum tau cara mengurusnya, coba tanya saja pada satpam bank ya.” Pesan pak polisi ramah padaku. “Terimakasih banyak, Pak.”
Siang itu, otak lelah ini hanya berpikir ingin menyelamatkan peti harta yang sempat hilang dan mati suri. Setelah memarkir motor putihku di sebelah pohon besar, aku berlarian menuju pintu utama. Pakaianku tidak rapi awut-awutan dan banyak yang menatapku aneh. Untung aku bukan seorang pemerhati seperti meraka. Apatis, itulah sebutan teman-temanku untukku. “Bruk!” Sepeti sedang lomba maraton dan musuh datang menyerang. Aku sendiri tak sadar siapa sosok senja yang berani menabrak tubuh lemahku dalam keadaan yang tidak tepat seperti ini.
“Maaf tidak sengaja, buru-buru.”
“Aku juga buru-buru. Sakit banget nabraknya, padahal matamu masih lengkap tapi penglihatanmu kurang tajam. Permisi”
Aku melanjutkan lariku meunuju pintu utama yang kurang lebih masih lima puluh meter dari tubuhku berada. Mengambil antrian dengan mendengus kesal pada lelaki yang menabrakku tadi. “Baru sadar ternyata sepi. Mungkin karena senja sudah muncul.” “Dua pulih tiga.” Nomor antrianku terpanggil di sebelah barat ruangan. Dengan nafas berat dan tubuh yang lemas kuberikan surat kehilangan dan buku rekeningku pada perempuan paruh baya yang sedang merangkai pembicaraan dengan teman sebayanya. Sikap cekatannya membuatku bingung, ia tak berbica apapun padaku, langsung bertinak sesuai prosedur. Apa daya, aku hanya bisa menunggu perempuan paruh baya itu mulai membuka mulut padaku. Baru kutemui pegawai bank yang tidak seramah biasanya. “Masukkan pin yang baru ya. Jangan tanggal lahir.” Tanganku mulai menari di atas mesin ATM. Bahkan pin yang kumaukkan tetap sama, tak ada bedanya dengan dulu. Delapan dua tiga sebanyak dua kali berulang. Itu angka keberuntunganku, mungkin hanya itulah yang melatar belakangiku begitu menyukai angka delapan dan dua puluh tiga.
Kupejamkan mataku perlahan sesambi menarik nafas dalam-dalam. Kubiarkan angin malam merebut sedikit kebahagianku. Dinginnya belum terlalu kejam namun dingin akan bertambah dingin ketika malam akan semakin larut. Bahkan sensasinya sampai menembus tulang rusukku. Mataku boleh saja terpejam, tapi angan dan pikiranku masih berjelajah menelusuri lorong-lorong peristiwa yang terjadi belakangan ini. Semakin kubiarkan jejak peristiwa itu menghantuiku, maka bodohlah aku telah menyia-nyiakan malam istirahatku. Aku menarik selimut dan merapatkannya ke tubuhku. “Biarkan aku beristirahat malam ini. Jika itu tidak bisa, beri aku amnesia untuk sebentar saja, Tuhan” Gumamku resah dalam hati.
Matahari mulai menampakkan sinarnya. Mencuri masuk melalui celah-celah jendela kamar yang tak sengaja terbuka karena angin semalam. Aku sering menyebutnya angin purnama. Rasanya masih ingin memanjakan diri di tempat tidurku yang paling nyaman untuk bermimpi. Seketika pikiranku pecah dan hambar saat ibu meneriakiku untuk segera bangun dan bersiap diri. “Maudy! Sudah jam berapa ini? kamu masih saja malas-malasan di kasur. Cepat bangun, kamar mandinya kosong.” Terperanjatku dari kasur dan segera mengambil handuk yang sudah dipersiapkan.
Rasa nyaman tak akan datang ketika kita hanya bisa menumpukan sesuatu pada seseorang. Aku contohnya. Harus menunggu jemputan teman sebangku untuk ke sekolah. Sebenarnya masih bingung sampai detik ini juga. Mengapa semua menganggapku seperti bayi berumur dua tahun yang kemana-mana harus di awasi dan membebani hidup orang. Bahkan faktanya aku baru saja lulus SMP dan sekarang sudah menjadi murid SMA. Sulit untuk dipahami, kurang dipercaya, menyebalkan.
Sebelum berangkat aku menyempatan diri untuk meneguk segelas kopi hangat. Setiap pagi akan terus seperti itu, meneguk kopi, berpamitan lalu berangkat. Sesampainya di sekolah, otakku masih menjalar kemana-mana. Menelusuri hal-hal yang terjadi belakangan ini. Sedikit takut namun selebihnya aku tenang saja. “Dy, kamu mikirin apa sebenernya? Kalau ada masalah cerita aja. Sedih liat kamu gini. Kaya siput kehilangan otak.” Tegur teman sebangkuku, Gina. Mereka bukan hanya teman sebangku, tapi sudah seperti lem ajaib yang gak akan habis walaupun dipake beribu kali. Dekat dan begitu erat.
“ATM milikku hilang, Gin. Aku punya bisnis online dan sekarang udah diblacklist sebagai daftar penipu gegara aku belum setor ke supplier. Belum beresin barang ke reseller dan pelanggan juga. Gimana caranya biar balik lagi, kamu tau?” Jelasku panjang lebar ke Gina yang sebenarnya aku tau dia tidak sedang memperhatikan pembicaraanku. “Apa tadi? ATM hilang? Coba urus surat kehilangan di kantor polisi dulu, sambil bawa buku rekening tabungannya.” Jawab Gina seadanya dengan nada datar. “Iya sih, tapi reputasi? Gak bisa dibalikin lagi. Riwayatlah bisnis online yang sudah susah payah aku bangun setahun terakhir ini, Gin. Dianggap penipu dan lalai.” Bicaraku dengan nafas terengah-engah sambil merapatkan jaket yang kukenankan demi menutupi dinginnya udara pagi kala itu.
“Selamat belajar teman-teman untuk UAS besok. Semangat ya, sebagai manusia kita pasti saling membutuhkan dan tidak bisa hidup sendiri. Hahaha.” Ucapku semangat seusai pulang sekolah siang itu. “Modusmu basi bange dy, bilang aja mau nyontek waktu mata pelajaran matematika besok.” Cetus Yogi, ketua kelasku. “Itu sudah kamu perjelas, terimakasih. Aku pulang dulu teman-teman, mau ngurus ATM hilang di kepolisian. Maaf saya curhat.”
Aku memantapkan setiap langkahku menuju kantor kepolisian demi menyelamatkan peti harta karunku. Sedikit bingung dengan kantor-kantor yang berjajar panjang rapi disana. Pikirku, aku sudah banyak bertanya siang ini jadi aku putuskan dengan yakin masuk ke salah satu ruangan dengan papan bertuliskan “Kantor Urusan.” Aku masih di ambang pintu. Namun saat sadar, semua terasa aneh. Ada beberapa pasang mata orang dewasa menatapku. Tubuhku yang kecil dan masih memakai seragam dengan bet kebanggaan sekolah membuat mereka tercengang saat itu. “Apa benar disini tempat membuat surat kehilangan ATM?” tanyaku sedikit ragu sesambi menggaruk kepalaku yang tak terasa gatal sedikitpun. “Benar. Sudah membawa buku rekening tabungannya? Sini saya ketik dulu.” Syukurlah, ternyata polisi tidak sekejam yang kulihat di layar kaca. Membawa pistol dengan raut muka yang menyeramkan. “Sudah selesai. Jika belum tau cara mengurusnya, coba tanya saja pada satpam bank ya.” Pesan pak polisi ramah padaku. “Terimakasih banyak, Pak.”
Siang itu, otak lelah ini hanya berpikir ingin menyelamatkan peti harta yang sempat hilang dan mati suri. Setelah memarkir motor putihku di sebelah pohon besar, aku berlarian menuju pintu utama. Pakaianku tidak rapi awut-awutan dan banyak yang menatapku aneh. Untung aku bukan seorang pemerhati seperti meraka. Apatis, itulah sebutan teman-temanku untukku. “Bruk!” Sepeti sedang lomba maraton dan musuh datang menyerang. Aku sendiri tak sadar siapa sosok senja yang berani menabrak tubuh lemahku dalam keadaan yang tidak tepat seperti ini.
“Maaf tidak sengaja, buru-buru.”
“Aku juga buru-buru. Sakit banget nabraknya, padahal matamu masih lengkap tapi penglihatanmu kurang tajam. Permisi”
Aku melanjutkan lariku meunuju pintu utama yang kurang lebih masih lima puluh meter dari tubuhku berada. Mengambil antrian dengan mendengus kesal pada lelaki yang menabrakku tadi. “Baru sadar ternyata sepi. Mungkin karena senja sudah muncul.” “Dua pulih tiga.” Nomor antrianku terpanggil di sebelah barat ruangan. Dengan nafas berat dan tubuh yang lemas kuberikan surat kehilangan dan buku rekeningku pada perempuan paruh baya yang sedang merangkai pembicaraan dengan teman sebayanya. Sikap cekatannya membuatku bingung, ia tak berbica apapun padaku, langsung bertinak sesuai prosedur. Apa daya, aku hanya bisa menunggu perempuan paruh baya itu mulai membuka mulut padaku. Baru kutemui pegawai bank yang tidak seramah biasanya. “Masukkan pin yang baru ya. Jangan tanggal lahir.” Tanganku mulai menari di atas mesin ATM. Bahkan pin yang kumaukkan tetap sama, tak ada bedanya dengan dulu. Delapan dua tiga sebanyak dua kali berulang. Itu angka keberuntunganku, mungkin hanya itulah yang melatar belakangiku begitu menyukai angka delapan dan dua puluh tiga.
“Tunggu sebentar
ya.” Aku mengangguk mengisyaratkan sesuatu padanya. Lalu menoleh pada seseorang
yang berada di samping kananku. Kudengar,
percakapan mereka memliki permasalahan yang sama denganku. “Kehilangan ATM
juga? Kenalin, aku Rico.”
“Yang tadi
menabrakku di depan pintu utama kan?”
“Oh iya maaf tadi
gak sengaja. Loh, kok kamu masih pakai seragam juga. Sekolah dimana dan kelas berapa?”
Percakapan kami
belum selesei namun pengurusan ATM milikku telah usai. Hal tersebut membuatku lupa apa yang
kita bicarakan sebelumnya. Yang hanya ada di kepalaku adalah harta karunku
kembali dalam genggaman. “Aku balik dulu ya. Senang bertemu denganmu.” Sapaku
ramah pada pegawai dan lelaki yang ku anggap asing itu. Aku berlarian menuju
parkiran, dan tanpa harus menunggu salam balik darinya. Pulang dan segera
membersihkan diri, membersihkan bisnis yang sempat mati suri karena reputasi
telah dihancurkan oleh manusia-manusia salah presepsi.
Rembulan telah
cukup redup dalam pelukanku, mengunang dengan sayap patahnya cahaya. Aku berbaring semesta dengan segala
prahara yang meniduriku mesra. Seakan lepas dari cekikan tali yang
mengelilingiku dan kemudian berbuah kayu manis. Tidak ingat lagi bagitu banyak
tentang selimut, bantal ataupun gulingku yang lebih dulu tertidur dari pada
lelapku.
Kembali pada pagi
buta. Aktivitas sekolah seakan membuatku bosan hidup, nyaris tak ada yang
istimewa. Bahkan jika masih boleh memilih, maka lebih berpihak kembali ke SMP.
Siang itu, aku terpaksa ke kantin seorang diri karena lapar yang tak tertahan. Aku yang berada pada kerumunan wajah,
bertemuku pada sosok tanya. Kutemukan sepasang mata; jurang yang kepadanya aku
rela jatuh. “Hey, kita ketemu lagi. Ternyata kamu sekolah disini dan masih
kelas 10. Aku Rico kelas 12 sosial, kamu?” sapanya ramah padaku. Entah apa yang
sedang aku rasakan, entah apa yang sedang ada di pikiranku. Tapi seakan melihat
sosok pangeran di dongeng princess yang mendatangiku. Begitupun saat ia bicara
mengenalkan dirinya. Ribuan bahkan juataan kupu-kupu memenuhi dan bermain di
perutku. “Aku Maudy, kelas 10 sosial juga. Udah tiga kali ketemu ya. Baru tau
ternyata kita satu sekolahan.” Jawabku
sedikit merunduk karena disana sepasang mata sedang menatap serius ke arahku.
“Salam kenal, Maudy. Nanti sepulang sekolah aku tunggu di gazebo utara
perpustakaan ya. Jangan lupa.” Ia pergi dengan meninggalkan bekas jabatannya di
tanganku. Faktor kebetulanlah yang mempertemukan kita. Pikirku sesederhana itu.
Sebelumnya aku begitu benci sosok lelaki yang menabrakku kemarin, bahkan
wajahnya yang rupawan sama sekali tak terlihat di mataku. Dan sekarang aku
begitu kagum dengan sosok pangerannya. Aku tau mereka lelaki yang sama, mungkin
hanya pandanganku yang berbeda.
“Kamu
pulang sama siapa? Aku antar pulang yuk. Ada nomor ponsel?“
“Boleh, sekarang
saja bagaimana? Mendung dan hujan akan turun sebentar lagi. Nomor ponsel untuk
apa?”
“Mengenalmu lebih dalam?.”
“Hanya nomor
ponsel tak perlu sungkan-sungan minta. Ini kartu namaku, ada alamatnya
juga. Kamu bisa anter aku kesitu.”
Sepanjang jalan
menuju rumah, kami menyusun percakapan disambut dengan angin dingin berselimut
kabut. Awan hitam sudah memasang kuda-kuda sejak beberapa menit yang lalu. Dan
tampaknya hujan yang turun pun akan deras. Kecemasanku semakin memuncak ketika
melihat jalanan masih begitu jauh dengan jarak rumahku. Di tengah perjalanan
benda itu akhirnya jatuh membasahi bumi. Apa yang aku cemaskan terjawab sudah.
Rico memarkir motornya di tempat teduh. Lalu ia mengambil jaket dari dalam
ranselnya dan mengenakannya ke tubuhku, seraya duduk di sampingku. Lelaki ini
begitu baik dan perhatian.
Aku hanya memimpikan jika ia bisa lebih dekat denganku, andai saja. Tapi aku
sadar, berandai-andai tidaklah memperbaik suasana. Kita berbeda galaksi, aku
hanyalah adik kelas yang manja. Aku mendambakannya, bahkan kita saja baru kenal
sehari. Hingga akhirnya sampai di depan rumahku. “Aku balik dulu ya, Dy. Kamu buruan mandi. Kalau masih
kedinginan, minum susu hangat aja. ” Ucapnya lembut dengan tatapan yang sama
persis kulihat saat ia memperkenalkan dirinya. “Terimakasih, lain kali mampir
ya kalau gak hujan.”
Ada aroma yang
berbeda pagi ini. Setitik semangat mulai muncul dan merubah segalanya. Aku
semakin rajin ke sekolah demi bertatap muka dengan orang yang ku kagumi. Kami
sering sarapan berdua di kantin, pulang berdua dan melakukan hal-hal kecil lainnya.
Waktu ternyata sangat mahal jika dibuat seperti ini, kita sudah begitu dekat
tiga minggu terakhir ini. Ia membuatku lupa akan lukaku yang beribu. Menjelmaku
seperti putri seakan duniaku hanya untukmu dan duniamu hanya untukku. Tanpa aku
tau perasaanya padaku. Itu yang membuatku gundah. Apa ia pikir ini hanya
permainan belaka? Untukku tidak.
Hingga akhirnya
ia mengajakku makan malam untuk kesekian kalinya. Namun berbeda dengan ini. Aku
disuruhnya memakai pakaian yang menurutku sangat pantas dan mewah. Ia memintaku
berdandan layaknya putri dongeng. Aku turuti saja permintaannya, semua
kupersiapkan dengan rapi. Kupikir ia akan mengajakku ke pesta dansa yang hanya
ada di cerita dongeng, tapi khayalku sangat konyol. “Ini hanya makan malam,
tidak lebih.” Kataku .
Malam itu, aku
menunggunya datang menjemput sambil menghitung rasi bintang yang dapat
kutemukan. Sesaat sebelum ponselku nyaris terjatuh dari meja tamu karena
getaran. Aku melihat layarnya, mengangkat alisku, lalu menjawab telepon itu.
“Sudah sampai mana? Kenapa
tidak langsung kesini saja?” tanyaku.
“Hei Maudy.” Sahutnya. “Sudah
cantik seperti cinderalla belum? Dalam perjalanan, tunggu.”
Aku terkekeh
mendengar bicaranya ditelpon saat itu. Tak lama kemudian, klakson mobil sudah
terdengar di depan. Ia membuka jendela kacanya dan tersenyum mengajakku masuk.
“Kamu cantik, bahkan melebihi cinderella.” Itulah ucapan pertama yang kudengar
saat masuk mobil. “Terimakasih. Tapi sayangnya aku tidak hidup di dunia
princess atau telenovela. Hahaha.” Tawaku.
“Kita mau makan dimana? Sampai kamu memintaku jadi seperti ini.”
Rico memarkir
mobilnya di dekat restoran mahal yang cukup terkenal. Mempersilahkanku masuk
dengan bahasa tubuh layaknya benar-benar pangeran di dunia dongeng. “Kenapa
hanya ada kita berdua disini? Mana yang lain?” Ia hanya mengulas senyum
seketika. Kupikir makan malam kali ini seperti pesta dansa yang ada di dongeng
peri dan novel teenlit yang sering kubaca. Berbeda dengan apa yang terjadi.
Aneh. “Aku ke toilet sebentar ya. Makanan dan minumannya sudah kupesan sesuai
kesukaanmu. Steak pedas germany dan milkshake stroberi. Tunggu saja disitu
jangan kemana-mana”
Aku panik dengan
segala sesuatu yang terjadi malam ini. Tempat, keadaan, dan kamu. Tak ada yang
kukerjakan di meja restoran tersebut. Hanya duduk sambil memutar-mutar ponsel.
Begitu seterusnya. Ku putuskan untuk berdiri dan melihat pemandangan malam
lewat jendela. Mulai menapakkan kaki beberapa langkah, namun ada seseorang yang
menepuk pundakku. Menghalangi jalanku menuju jendala itu. Aku berbalik arah dan
memutar kepalaku. Lelaki yang suka kupanggil sosok senja itu sedang berdiri
tepat di hadapanku. Berjarak hanya beberapa sentimeter saja. Kemudian ia
menekuk lututnya. Seraya memberiku sekuntum mawar merah segar. Aku berpikir dan mengulang kembali.
Apa yang biasanya membuat aku jatuh cinta. Bagaimana biasanya saat aku jatuh
cinta. Perasaan seperti apa yang aku punya ketika aku jatuh cinta. Yang aku
tahu, selalu ada jutaan kupu-kupu diperut yang menggelitik. Dan ketika melihat
salah satu bagian dari tubuhmu. Mata indahmu. Aku benar-benar yakin ini bukan
hanya rasa kagum. “Buatmu, gadis cantik yang melebihi cinderella.” Jelasnya
sambil memberikan mawar itu padaku.
“Terimakasih
untuk ini dan semuanya.” Lalu beberapa orang di sebelah barat tempatku duduk
tiba-tiba mendekat. Kali ini buka pelanggan seperti kami. Mereka membawa
peralatan musik dan kebanyakan membawa biola. Memainkan alat musik di dekatku.
Kini aku tau maksud dari makan malam ini. Rico benar-benar menjadikanku putri
dongeng malam ini. Beberapa menit kemudian makanan kami datang, aku semakin
tidak ingin makanan itu habis. Mengapa? Karena aku ingin berlama-lama disini,
di suasana seperti ini, dengan seorang yang aku cinta. Kemudian Rico
menghampiri piano putih yang ada di pojok ruangan, aku tak tau persis apa yang
sedang ia lakukan. Dan aku baru sadar, ia menyanyikan sebuah lagu untukku.
Bernyanyi sambil jemarinya menari di atas piano. “Ijinkan aku bernyanyi
sebentar, kupersembahkan lagu ini hanya untuk Maudy.”
Because tonight will be the night
That I will fall for you
Over again
Don't make me change my mind
Or I won't live to see another
day
I swear it's true
Because a girl like you is
impossible to find....
Hatiku
benar-benar terketuk saat itu, hanya bisa tercengang dan tersenyum bahagia.
Sangat bahagia karena belum pernah merasa menjadi tuan putri sebelumnya, sampai
aku bertemu sosok senja seperti Rico. Mawar, pemain biola, dan satu lagu
untukku. “Apa yang membuatmu bahagia? Biasanya perempuan suka bunga, jadi aku
berikan mawar. Ada lagi?” tanyanya dengan nada serius. “Kamu bukan penjual
kebahagiaan, ini semua sangat membuatku bahagia. Mawar, musik, lagu untukku dan
makan malam ini. Aku suka semunya, aku juga suka kembang api. Tapi sayangnya
pergantian tahun masih lama, jadi kembang api tak akan muncul nanti malam.
Terimakasih ya, untuk ini semua.” Ucapku pada Rico yang tengah merapikan
pakainnya. “With my pleasure.”
Sesaat setelah
makan, Rico mengajakku keluar. Aku yakin yang dimaksud keluar bukanlah pulang,
aku masih ingat jalan menuju pintu keluar. Ia membawaku ke sebuah taman yang
juga merupakan fasilitas dari restoran tersebut. Baru kusadari ternyata
restoran ini memiliki lahan yang luas, dan disini hanya ada kami bedua. Aku
duduk di bangku putih ditengah taman. Biasanya bangku taman ada di pinggir tapi
entah kenapa yang mendesain sedikit aneh. Kami menyulam kata per kata malam
itu. Topik yang kami bicarakan semakin serius sampai sebuah suara keras membuyarkan
pikiranku. Aku melihat ke atas langit, kembang api bermunculan warna-warni.
Aku tak percaya
dengan semua kejutan yang ia berikan. Akulah perempuan yang paling bahagia saat
itu, serasa menjadi tuan putri di istana megah. “Aku bahkan tidak sedang ulang
tahun hari ini. Tapi kamu berikan semua kebahagiaanku. Sepertinya, ucapan
terimakasih saja tak akan cukup. Aku punya hutang balas budi untukmu.” Kataku
sesambi melihat pancaran cahaya kembang api di langit, melihat rembulan di
langit. Ternyata malam purnama. Pikirku kembali melayang pada beberapa minggu
lalu. Malam itu juga malam purnama saat pertemuan pertama kita. “Sekarang sudah
merasa lebih bahagia melihat kembang api? Besok aku yang mengantarmu ke sekolah
ya.”
Malam yang tak
akan pernah kulupakan, aku menjadi tuan putri. Kejadian itu masih melekat jelas di
otakku. Sederhana sekali jatuh
cinta itu. Kadang ia datang tanpa gejala. Diam-diam seperti pencuri. Lalu akan
terkejut, karena ternyata mereka telah ada di sana. Diam-diam menguasai. Ia
berikan semua kebahagiaanku. Anehnya, ada satu yang ketinggalan. Perasaannya
padaku. Apa ia hanya sosok senja yang berdiri di ambang pintu? Seenaknya masuk
dan pergi? Aku mengabaikan pikiranku sejanak dan membiarkan tubuhku terlelap
dalam tidurku, kubiarkan kamu masuk dalam mimpiku di malam purnama.
“Pekarangan rumahmu berjajaran
rapi bunga melati. Kamu suka melati? Katamu suka mawar, aku tidak tau.”
“Aku memang suka mawar, tidak
banyak. Selebihnya sangat suka melati. Terimakasih untuk semalam.”
“Melati identik dengan wanita
berpikiran kuno dan tak berkembang. Akan ku cabuti melatimu, aku ganti dengan
mawar merah segar. Sudah kebelikan tiga puluh tanaman mawar yang siap tanam.
Aku tanam ya, kita masuk sekolah siang kan? Setelah menanam, kita langsung ke
sekolah.” Kata Rico sambil mengangkat beberapa tanaman mawar yang sudah ia beli
untukku.
Jujur sebenarnya
aku tak begitu suka dengan sikap anehnya pagi ini. Untuk apa peduli dengan
pekarangan rumahku, untuk apa ia menanam begitu banyak mawar. Seindah apapapun
mawar yang melambangkan kasih sayang, aku tetap mencintai melati dengan aroma
khasnya. “Untuk apa diganti mawar? Okelah, aku suka keduanya. Tak perlu
dipermasalahkan lagi, aku bantu nanam ya.” Kami menanam mawar tersebut kurang
lebih sejam lamanya. Dengan berat hati aku mencabuti melati kesukaanku dan
menggantinya dengan mawar.
Sesampainya di
sekolah, ada seorang gadis tinggi semampai mendekati kami. Aku tak tau lebih
jelasnya siapa, tapi sepertinya ia mengenal Rico. Mengenal lebih dalam. “Rico,
aku sudah kembali. Kamu masih ingat janjimu kan?” Aku melirik tatapan Rico, ia
tampak terkejut dan kebingunagan. Gadis itu terus melanjutkan pembicaraaannya.
“Kanaya. Aku sudah tak terikat menjadi siswi Australia lagi. Aku rindu suasana
di Indonesia, iklimnya, makanannya, dan kamu. Kekasihku.” Mataku terbelalak
mendengar perkataannya. Sempatku tak percaya dan menunggu Rico membuka mulut.
“Katakan jika semua itu bohong, katakan ini semua hanya sandiwara.” Dengusku
kesal dalam hati.
“Dy, kamu bisa ke
kelasmu sendiri kan? Aku ada urusan sebentar.”
“Oke.” Jawabku singkat dengan
wajah tak beraturan, mana raut muka sedih dan mana raut marah.
Sejak kejadian
itu, Rico tidak bisa dihubungi lagi. Ia bahkan jarang terlihat di kantin dan
sekitar sekolah. Dan beberapa bulan setelah itu, aku melihatnya menggandeng gadis
semampai yang kutau namanya Kanaya. Dia benar-benar kekasihnya. Lalu apa aku
hanya sapu tangannya? dengan semua sikapnya padaku, dengan sosok pangerannya
padaku? Sekarang aku sadar, aku hanya sebuah pilihan ketika ia bosan.
Perih. Aku baru
saja menjadi tuan putri, dan sekarang seperti angin lalu yang hanya lewat. Ada
setanak luka yang ditanam dalam-dalam hingga banjir, tak pernah ungkap. Ada
setanak ingatan yang hanyut di laut kepalaku yang maha lepas, tak pernah tiba.
Maaf, aku memaksamu untuk memasukkan namaku. Pada akhirnya, malam yang
membawaku pulang dan subuh yang harus menerima segala tiba. Aku letakkan ikhlas
jauh lebih tinggi dari batas cakrawala. Aku menangisi apa yang telah terjadi.
Bodohnya aku, gadis kecil yang mendambakan negri dongeng.
Semakin itu temu,
semakin itu pisah. Banyak pertemuan yang seharusnya dipisahkan, entah jarak
atau memang itu kenangan tak terlupa setahun terakhir. Keadaan yang membuat
berbeda. Hari-hariku kembali seperti adanya. Tak ada lagi sosok pangeran, sosok
senja, malam purnama dan semua tentangnya. Namun aku bersyukur masih mempunyai
banyak teman yang peduli. Walau sangatlah sulit melepas rasa sakitnya.
Hujan yang
meyakinkanku ketika sedih. Kebahagiaan pasti
datang di akhir. Jika masih
menyakitkan, maka itu bukanlah akhir. Melainkan ada kisah yang masih berlanjut. Hujan membasahi bumi, semua aktivitas
terhenti sementara. Membuat banyak kegaduhan di jalanan. Namun saat usai,
pelangi muncul membawa kebahagiaan. Sesederhana itu. Kau pintar dan aku bodoh. Kau lebih beruntung , sialnya aku
pandai bersyukur. Seperti itu
adanya.
Hari itu, Gina
mengajakku makan malam di sebuah cafe. Katanya, ia mengajak seseorang yang akan
membuatku tenang. Tak pernah kupercayai sedikitpun perkataannya, tapi apa daya
ia minta gratisan dan ia teman terbaikku. Aku berulang tahun hari itu, jadi aku
turuti semua pintanya. Setibanya disana aku melihat seseorang yang tak asing
bagiku. Anehnya, kedua tangannya membawa kue tart besar dengan lilin yang
menyala. Semakin mendekat, degup jantungku semakin tak beraturan.
“Selamat ulang tahun, Maudy.
Aku datang untukmu, untuk ulang tahunmu. Dulu, jangan ingat yang dulu. Semua
telah berakhir. Ini tentang kita.”
“Berakhir? Tolong mengerti,
jangan seenaknya kau masuk dalam kehidupanku. Ini bukan pemainan yang ada di
Timezone.”
“Ikut aku sebentar.”
“Kemana? Gina kamu tunggu
disini sebentar ya.”
Hujan saat itu,
Rico membawaku ke tempat yang sama sekali tak ku kenal. Ia masuk ke sebuah
tempat penuh dengan semak-semak belukar. Aku turuti saja kemaunnya, karena tak ada satupun orang disitu
selain Rico. Banyak tanaman dan sangat gelap disini, aku kehilangan jejak Rico.
“Selamat ulang tahun, Maudy. Semoga kamu senang dengan kejutan ini.” Sosok
senja penuh kejutan. Aku punya julukan baru untuknya. Lilin-lilin
bergelantungan dan banyak bunga melati disana. Kembang api bertebaran di
langit. Dan ternyata malam purnama, lagi. “Aku sayang kamu, Dy.”
Lalu aku bisa apa
saat itu? “Kau pecinta hujan, namun payungmu tetap terbuka. Kau pun pecinta
cahaya, tapi mencari tempat gelap. Dan katamu, kau menikmati angin. Jendelamu saja tak pernah kau
buka. Itulah mengapa aku sangat takut. Takut saat kau bilang rasa itu padaku. “
“Ikut aku, akan
kutunjukkan sesuatu padamu.” Ia berjalan menuju arah rumahku. Kuikuti jejaknya
kemana ia pergi walau aku tak tau apa yang sedang dilakukannya. Ternyata benar,
ia menuju rumahku dan kemudian menyuruhku berdiam diri di sebelah pekarangan.
Ia pergi sebentar pamitnya akan mengambil sesuatu. Apa yang diambil malam dan
hujan begini? Pikirku. Dibawanya tanaman melati siap tanam. Seketika menanamnya
disebelah taman mawar yang setahun terakhir kita tanam.“Mawar, kata orang
artinya kasih sayang. Melati, kata orang artinya suci. Lalu ini adalah kasih
sayang suci, untukmu.”
***Kita adalah satu dari sekian banyak remah-remah waktu. Yang terdoa oleh rindu, dan tersusun oleh kenangan-kenangan baru. Tetaplah seperti biasa. Seperti senja yang dinanti oleh kata-kata pujangga. Seperti purnama yang selalu ada dalam perayaan sajak bahagia. Malam purnama. Untuk kesekian kebahagiaan yang kutemui.