Pinky Bilika Intan Sari
Aku pernah melihat awan
hitam yang berarak pada langit itu. Aku juga pernah menyaksikan binar mentari pada langit yang sama. Namun aku tetap merasakan suhu mendung pada tiap-tiap sudut aku berdiri. Hingga tetesan langit membuktikan mendung dan hujan dalam sandiwaranya.
***
“Tetesan langit itu
datang lagi. Mungkin tetesan itu datang begitu lama. Atau bisa saja hanya
sekejap” Kala itu Kinan bergumam. Menapakkan kaki mungilnya sambil merapatkan
jaket yang dikenakannya. Pandangannya kosong dan nafasnya terasa berat saat bicara.
Benar, ia hanya ingin langit cerah sepanjang hari. Bertolak belakang dengan
hari lalu yang mencibir berharap hujan turun, bersuhu dingin, sambil meneguk cappucino hangat kesukaanya.
Kinan namanya. Seorang
siswi yang sedang duduk di bangku kelas XI SMA bertempat di salah satu sekolah
favorit di Yogyakarta. Pemilik mata indah, rambut hitam dan pecinta kafein.Gadis
ini masih saja sibuk dengan lamunannya di jalanan menuju gerbang sekolah. Bel
pulang sekolah memang sudah berbunyi sejak lima belas menit yang lalu, namun sama
sekali tak menggerakkan saraf otaknya untuk segera pulang. Bahkan dalam keadaan
gerimis sekalipun. “Kamu ngapain masih disini? Mau pulang atau tinggal?” desis
Johan sambil menggaruk kepalanya yang bahkan tak terasa gatal sedikitpun. “Mau
disini aja, belum ada niat buat pulang” Ketus Kinan dengan nada naik. Bicaranya tanpa melihat wajah Johan. Melirik
saja tidak. Gadis ini memang apatis, anarkis, namun terkadang romantis
dan berpikiran optimis. “Mau disini sampai kapan? Udah ada yang jemput? Aku
antar pulang ya” Untung saja niat baik Johan diterima, biasanya tak pernah. Ini pertama kalinya. “Ngg..
untuk kali ini iya. Ini terpaksa”
Setelah selesai
mengantar Kinan pulang, Johan mampir ke toko buku yang ada di dekat kompleks
Kinan. Bukan, jangan salah presepsi. Johan bukan seorang kutu buku. Bahkan buku
wajib di sekolahnya jarang ia buka. “Sebenarnya apa menariknya dari
lembaran-lembaran kertas penuh huruf ini? Apa yang ada dipikiran gadis
itu selain huruf-huruf ini? Jika aku jadi dia, aku lebih memilih pergi ke
salon.” Kemudian Johan memutar balikkan badannya, berjalan kesana lalu kembali kemari,
begitu terus seterusnya. Johan yang berada di toko buku tersebut hanya ingin mendalami Kinan seorang pecandu buku. Selang beberapa menit kemudian ia kembali pulang ke rumahnya. Pikirannya
hambar dan mengambang. “Kenapa aku tadi bisa nyasar ke toko buku? Saat kita sudah menemukan orang yang nyaman dan tepat, saat itu juga pikiran kita tak lagi wajar, bahkan hal yang tak
mungkin bisa jadi sangat mungkin” Tanya Johan pada dirinya sendiri. Tepat saat itu pula Kinan mengirim pesan singkat
padanya. Johan yang sendirinya sedang melamun serentak kaget, beruntung tidak
pingsan di tempat. “Terimaksih sudah mengantarku pulang.” Pesan sesederhana itu ternyata mampu menghipnotis Johan hingga lepas dari dunianya. Le-pas. Karena sebelumnya Kinan adalah gadis yang acuh pada lelaki, apalagi Johan yang baginya hanya si karbondioksida pengganggu.
“Bukan hujan yang merangkai bahagia, pelangi
yang melakukannya. Sedangkan kita adalah hujan yang memungut tetesan kesan.
Kita adalah mendung yang bersembunyi dibalik tudung pelangi. Kita adalah sajak
yang sepi.” Kinan yang yang tengah bermain game diponselnya otomatis tersentak ketika membaca pesan balik Johan. Refleks jemarinya tak berhenti menari di keypad ponsel miliknya. Otaknya
berpikir keras bagai radio rusak yang mencoba memutar lagu rock, padahal harusnya jazz. “Sejak
kapan Johan ber-kamuflase gini? Baru tau ternyata selain jago main gitar dia
juga bisa bersastra. Dan ini.. lebih dari itu. Diksinya bagus dan maknanya
dalam. Besok aku harus menemuinya. Iya, besok. Secepatnya”
Kringggg!
Jam berdetak tepat menunjukkan arah setengah tujuh pagi. Hari selasa, hari
mengerikan bagi Kinan.”Dari tadi raut muka kamu bingung, ada masalah apa? Jangan tegang dong.” Kata-kata itu langsung
terlontarkan dari mulut Sella, teman sebangku Kinan. Gadis yang satu ini tergolong
gila. Gila dalam konteks over terhadap segala hal meski hal sepele sekalipun. “Kamu harus tau, ternyata Johan bisa bikin
puisi yang bukan layaknya puisi biasa. Padahal setauku dia cuma jago nyontek, bikin gaduh, main gitar
dan terakhir futsal. Kamu tau kan, tahun ajaran kemarin aku sekelas sama dia.
Jadi aku tau semua tentangnya.” Jelas Kinan benar-benar tak sadar ucapannnya
barusan telah menyakiti lawan bicaranya. “Tau darimana berita aneh itu? kamu suka Johan, Kin? Sampai segitunya kamu peduli sama hidupnya. Urusin dulu dong hidupmu.
Jangan ngata-ngatain juga.” Mata Kinan terbelalak dengan ucapan Sella yang
pedas bagai maicih yang ramai dijual
di pinggir jalan. “Jangan naik pitam, Sel. Kamu kenapa jawabnya judes gitu? Aku
belum selesai cerita. Kemaren aku diantar pulang Johan, terus dia ngirim pesan
singkat gitu. Ini coba kamu lihat.” Kemudian Kinan menunjukkan pesan singkat
Johan ke teman sebangkunya itu. Sella
yangtengah memendam rasa dengan pemuda bernama Johan rasanya tak punya harapan lagi. Ia
menyembunyikan perasaan itu dari Kinan. Bukan karena apapun, tapi memang gadis
gila ini memang sedikit introvert.
“Johan
ada?” Jam istirahat Kinan habis digunakannya mencari Johan. Ha ini sepele, tapi
penting baginya. Entah apa yang begitu membuatnya penting. Ia ke kantin
sebentar untuk membeli segelas air mineral kemasan, duduk di bangku taman dan
menenangkan pikiran. “Hai Kinan, apa kabar? Masih suka kopi?” Pemuda berpostur
tinggi dan pemilik mata indah itu duduk tepat disebelah Kinan.”Oh, Radit? Lama
ya gak ketemu. Aku baik, kamunya?” Jawabnya kaget dan tergelitik seperti ada sesuatu di
diafragmanya menarik dan menghembuskan nafasnya dengan susah
payah. Seperti ada sesuatu yang mencegahnya untuk bernapas normal. Hai, masa
lalu. Dengusnya. “Aku juga baik. Kalau lihat kamu itu rasanya ingat hujan,
ingat pelagi. Ingat kita”
Kinan
benar-benar bingung dan diam seribu bahasa. “Rasanya seperti melihat kabut
memenuhi sekolah dan ingin hilang saat itu juga. Rasanya ingin mencaci maki dan
tak ingin melihatmu lagi. Aku sudah hampir lupa, dan rasa itu seperti ada di
ambang pintu yang tercatat takdir antara masuk atau tidak.” Gumamnya dalam
hati. Radit terus-terusan menatap Kinan, namun ada yang membuatnya sedikit kalut saat
itu. Suara Johan telah menggelitik ditelinganya. “Kinan! Kamu nyariin aku ya? Maaf aku tadi keluar sebentar. Tapi tenang, I
always there for you when you needed me the most. Ada ap-a...” Kata-kata itu
berhenti seketika. Johan begitu sakit saat melihat Kinan duduk bedua dengan
Radit di bangku taman. Ia hanya mengulas senyuman melambaikan sebelah tangannya kemudian pergi. “Johan, kamu
mau kemana? Aku nyari kamu dari tadi, jangan pergi. Aku mau nanya
sesuatu.” Kinan menghampiri Johan yang nampak tak bergairah saat itu.
“Ini, pesan singkatmu kemarin maksudnya apa? Kamu juga suka bikin puisi? Sejak
kapan? Setauku kamu cuma jago futsal sama main gitar deh.” Tanya Kinan
penasaran. “Nggak juga. Bahkan itu pertama kalinya aku bikin diksi kaya gitu.
Pertama kalinya dan buat kamu. Coba kamu lebih sensitif beberapa bulan
belakangan ini. Aku selalu ngajak kamu pulang tapi kamu tolak, Aku selalu ngasih kamu coklat walaupun kamu abaikan, bahkan aku main gitar dan nyanyi di kelas liriknya juga cuma buat kamu.
Sekarang kita beda kelas, aku sedih kita gak bisa sedekat dulu lagi. Tapi aku
sadar, aku gak lebih dari sekedar teman pengganggu.” Keyakinanku semakin mantap
tentang fakta bahwa Johan menaruh tempat hatinya untukku. Aku bisa apa, dilema.
“Ngg.. aku belum paham. Kata-katamu terlalu dalam bahkan aku bingung maksudnya. Eh kamu bicaramu kenapa
jahat gitu ke aku?” Tanya Kinan serius. “Ah, sudah
lupakan.” Johan kembali mengulas senyumnya, kali ini sekaligus menatap Radit yang
dari tadi mendengar pembicaraan mereka.
“Kin,
udah ketemu Johan belum? Aku sekalian nitip undangan ulang tahunku ke dia ya.
Kamu yang deket sama dia. Jangan lupa nanti jam tujuh malam di Cafe Kanaya.”
Pinta Sella. “Iya sel, mungkin ini ketemu lagi. Biasanya dia nawarin pulang
soalnya.” Di gerbang sekolah Kinan sudah menunggu sejak dua puluh lima menit
yang lalu. Tidak ada Johan, tidak ada Radit. Kelam, seperti dihantamkan jatuh
seketika ke jurang. Langit mendung sudah mulai merintikkan air. Ia masih saja
disana, duduk di gerbang sekolah tanpa ada siapapun yang menemani. Satpam
sekolah segera pulang dan menutup gerbang sekolah. Mau bagaimana lagi, Kinan
terpaksa jalan kehujanan ke halte bus. Rumahnya agak jauh, orang tuanya sedang
di luar kota dan ia anak tunggal. Ia duduk di halte bus yang berada di sebelah
selatan sekolahnya. Hanya bisa mengangkat bahu, menunjukkkan sikap dingin.
Tapi, ada sesuatu yang membuatnya berpikir selain ingin pulang Sesuatu yang
seolah menekan dadanya, sepertinya itu adalah penyesalan. “Baiklah, aku akan
minta maaf, jika memang itu bagian dari etika.” Ucap Kinan pelan.
“Minta
maaf ke siapa?” Johan ternyata juga sibuk mencari keberadaa Kinan. “Akhirnya
aku menemukanmu disini. Kamu yang tengah memeluk lututmu dan matamu yang merah
pasti sekarang kedinginan.” Dengus Johan dalam hati. Johan lalu mengambil jaket
dari dalam ranselnya dan mengenakannya untuk Kinan, seraya duduk disampingnya.
Hujan masih turun saat itu, namun ada bayangan semburat biru di langit ketika
ia melihatnya. “Kamu kesini naik apa? Tapi makasih ya. Maaf udah merepotkan.
Maaf juga udah buat kamu naik pitam tadi. Sekarang aku paham.” Jelas Kinan
dengan nada tersendat dan terhalang oleh kondisi tubuhnya yang menggigil.“Gak
usah terlalu dipikirkan. Sekarang aku temani kamu pulang. Itu bus jurusan
rumahmu lewat kan? Ayo.”
Sesampainya
di rumah, Johan melambaikan tangan dengan seulas senyum manis pada Kinan,
dengan kedua mata indahnya. “Tunggu, Sella mengundangmu pada pesta ulang
tahunnya. Ini undangannya. Untukmu.” Sela Kinan. “Kamu juga datang? Aku boleh
mengantarmu?”Ucapanya yang begitu saja terlontar dari mulutnya. “Dengan senang
hati, jam tujuh malam, kesini ya. Thanks a lot.”
Dipilihnya
pakaian merah menyala yang memang disesuaikan dengan kode dress pada pesta
ulang tahun Sella, teman sebangkunya itu. Sesaat ia sedang berkaca, ponselnya
berdering kencang. Nomor tidak dikenal sedang menelpon, tidak ada di kontak
ponselnya.. “Halo, siapa disana?”Gadis yang berada di depan kaca tersebut
memasang raut muka kebingungan sekaligus tergesa-gesa ketika melihat jam sudah akan
menunjukkan pukul tujuh malam
tepat. “Aku….” Kinan sengaja memutus
sambungan telepon. Ia benar-benar bingung saat itu, mana yang dipersiapkan
untuk pesta ulang tahun temannya atau hanya ingin terlihat terkesan dihadapan
Johan. Benar, sejak Johan ada untuk Kinan, hidupnya tak lagi terlihat suram.
Begitu berusahanya ia melupakan masalalunya hingga bertemu sosok Johan. Sosok
yang dianggap obat peredam hatinya. Semenit kemudian, bel rumah Kinan berbunyi.
Kinan segera keluar menemui Johan yang tengah berkaca di spion mobilnya.
Seperti biasa, Johan menyapa dengan kedua mata indahnya pada Kinan yang tengah
berpamitan dengan orang tuanya. “Sudah siap semua? Tidak ada yang tertinggal?”
Tanya Johan memulai percakapan basa-basinya malam itu. “Siap. Berangkat!”
“Selamat
ulang tahun teman sebangku! Semoga tambah segalanya ya.” Ucap Kinan pada Sella
seraya menerima bingkisan kado dari Kinan. “Terimakasih sudah merelakan waktumu
buat datang, Kin. Kamu minum dulu, minumannya disebelah situ.” Sementara Kinan
mengambil segelas minuman di meja yang ada di sudut ruangan, Johan memberi
ucapan selamat kemudian ijin ke toilet sebentar untuk membenarkan dasi yang
dianggapnya kurang rapi. “Toilet sebelah utara kan, Sel? Aku kesana ya.”
Pintanya. “Silahkan, anggap saja rumahmu sendiri”
Memang
tuhan selalu punya takdir pahit dan
manisnya. Memang dunia adalah panggung sandiwara dan mereka pasti punya cerita.
Entah menjadi protagonis ataupun sang protagonis. Kala itu Kinan duduk di sofa
dan menikmati suasana pesta Sella sembari meneguk segelas anggur merah. Ia
memandangi sosok yang pernah dicintainya, begitu dibanggakannya. Sesaat seperti
menonton telenovela atau membaca dongeng princess dan novel teenlit remaja.
Judulnya adalah namamu, Radit. “Aku yang berada pada kerumunan wajah, bertemuku
pada sosok tanya. Kutemukan sepasang mata; jurang yang kepadanya aku rela
jatuh.” Ucap Kinan pelan, berbisik. Tak teruntukkan atau tertuju pada lawan
bicara, ia hanya ada di bagian prolog ketika melihat Radit tersenyum di ujung
sana. “Hai Kin, aku gak nyangka kita ketemu lagi disini. Aku rindu saat kita
bertatap face to face dengan jarak
sedekat ini. Rasanya semua sepi walaupun dalam suasana pesta begini.” Kinan
benar-benar terdiam seribu bahasa. Ia bahkan bingung bagaimana cara menyampaikan
huruf-huruf yang telah tersusun di kepalanya. Setiap ia memandang Radit, ia
kembali jatuh sepeti dua tahun lalu pertama bertemu. Dan seterusnya begitu. “Kamu
boleh bediri sesukamu. Kamu mau datang dihidupku, pintunya tebuka. Kamu akan
pergi, pintunya juga tetap terbuka. Aku cuma minta satu. Jangan berdiri di
ambang pintu. Kau menghalangi semuanya” Kemudian, tubuhnya sudah tidak kaku
lagi. Mereka terus menguntai pembicaraan demi pembicaraan. Sampai dimana Johan
melihat mereka berdua, saling tersenyum. Saling bertatap muka dan tatapan itu dianggapnya
bermakna dalam. “Hey, maaf. Aku ganggu kalian ya? Cuma mau ngembaliin ponsel Kinan.
Tadi aku meminjamnya untuk menelpon, pulsaku habis. Ini ya, makasih. Untuk
pinjamnnya, untuk semuanya.”
“Tunggu.
Aku minta maaf, bukan maksudku buat...” Pembicaraan Kinan terhenti sesaat Johan
mengisyaratkan bahwa semuanya tidak ada apa-apa dan baik-baik saja. Ia tidak
bisa membohongi dirinya sendiri, memahami setiap keluhan hatinya, setiap ucapan
otaknya. Saat kenyataan begitu pahit ketika memilih untuk pergi namun masalalu
justru datang disaat ia sudah membuka pintu hati untuk orang lain. Semua
kembali terbias pada orang pertama. “Aku bahagia. Entah kenapa, melihatmu
bahagia saja sudah lebih dari cukup bagiku. Tenang, aku bukan pemaksa. Jangan
dipaksa, nanti sakit.” Topik pembicaraan semakin larut ketika Radit menemui
mereka berdua, membuka mulut dan mengutarakan sesuatu. “Kamu salah, Han. Kinan
memang masalaluku, namun Kinan tak mungkin menjadi masa depanku. Karena ia, telah
memilihmu. Ia mencintaimu, merindukanmu bahkan pada saat sesulit apapun. Ia
melakukannya dalam diam.” Ucapan Radit mengakhiri pertemuan mereka bertiga,
menjadi hanya berdua saja. “Bagaimana bisa Radit bicara tentang itu? Aku
melihat jelas dari sorot bola matamu saat menatap radit. Ada sesuatu disana.”
Johan benar-benar merasa tidak tahu apa-apa, bimbang antara senang atau sedih.
Sampai akhirnya Kinan membuka mulut. “Aku memang menyanyanginya, rasa itu
selalu ada dan bermunculan saat seperti pertama bertemu. Iya, jatuh dan jatuh.
Sebagai kakak. Dan kamu, berbeda. Kamu yang telah menyusun kembali luka itu,
menyembukannya. Dan kemudian aku jatuh, jatuh pada sosokmu dan kedua mata
indahmu.” Dijatuhkan kedua tangan Radit ke tubuh Kinan, memelukanya dengan
erat. Memeluk gadis yang sangat dicintainya sejak tahun lalu. KINAN.
***
Malam
itu terasa cerah, bahkan seolah ada selendang biru menari pada langit mendung. Mendung
tak berarti hujan. Dan hujan tak berarti harus bertahan dalam teduh batas aman.
Terkadang basah juga membawa berkah. Karena mendung ini adalah satuan-satuan
tentang ilmu pasti dalam kondisi pelita yang setengah ragu untuk bermain hari.
Dan sekarang, semua menapakkan yang pasti. Hujan dan pelangi menanti.